Meneladani Nabi Muhammad Shallallahu’alahi wa sallam Sebagai Seorang Pendidik
بسم الله الرحمن الرحيم
- I. Sebutan “pendidik” diberikan kepada Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka kitab dan Hikmah (As Sunnah). Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata, (Al Jumu’ah: 2)
“Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Al Baqarah: 151)
Suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui sahabat-sahabatnya, Beliau melihat mereka membaca Al Qur’an dan mempelajarinya, maka Beliau bersabda kepada mereka, “Sesungguhnya aku diutus sebagai pendidik.”[1]
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak mengutusku untuk memberatkan dan tidak sebagai orang yang memberatkan diri, akan tetapi Dia mengutusku sebagai pendidik dan pemberi kemudahan.“[2]
Mu’awiyah bin Hakam pernah berkata, “Aku belum pernah melihat seorang pendidik yang lebih baik dari Beliau baik sebelum maupun sesudahnya.”[3] Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan, “Aku belum pernah sama sekali melihat seorang pendidik yang paling lembut daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”[4]
- II. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pendidik terbaik
- III. Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang perlu dimiliki oleh setiap pendidik
- 1. Hirsh (perhatian)
(Beliau pernah bersabda):
“Wahai Abu Dzar, sesungguhnya saya melihat dirimu lemah dan saya menginginkan untukmu sesuatu yang sama untukku.”[5]
“Sesungguhnya perumpamaan diriku dengan umatku adalah seperti seorang yang menyalakan api. Ketika itu binatang dan laron berjatuhan ke dalamnya. Aku mencegah kalian, namun kalian malah melemparkan diri ke dalamnya.”[6]
- 2. Lembut dalam memberikan pengarahan
“Sesungguhnya Allah lembut. Dia menyukai kelembutan dalam semua perkara.”[7]
Sedangkan dalam riwayat Muslim disebutkan, “Sesungguhnya kelembutan tidak ada pada sesuatu kecuali akan menghiasnya dan tidak dicabut dari sesuatu kecuali akan mengotorinya.“[8]
Di antara kelembutan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah apa yang disebutkan Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Beliau memanggilnya, “Wahai anakku.“[9]
Anas pelayan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling baik akhlaknya. Suatu hari, Beliau mengutusku untuk suatu keperluan, lalu aku berkata, “Tidak! Demi Allah, aku tidak akan pergi.” Padahal dalam diriku ada niat untuk pergi karena diperintah oleh Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun keluar hingga melewati sekumpulan anak-anak yang sedang bermain di pasar, dan ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sudah memegang pundakku dari belakang. Aku berbalik melihat Beliau, ternyata Beliau tersenyum, dan bersabda, “Wahai Anas kecil! Apakah kamu sudah pergi ke tempat yang aku perintahkan? Aku menjawab: “Ya, aku akan pergi wahai Rasulullah.”
Di antara kelembutan Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah apa yang disebutkan Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib saat ia mengatakan, “Kemudian Beliau mengusap kepalaku tiga kali.”[10]
Di antara kelembutan Beliau lainnya adalah memperlihatkan kecintaan kepada para sahabatnya sampai masing-masing di antara mereka mengira bahwa dirinyalah yang dipilih Beliau. Amr bin ‘Ash pernah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menghadapkan muka dan pembicaraannya kepada orang yang jahat untuk melembutkan hatinya. Beliau pernah menghadapkan muka dan mengarahkan pembicaraannya kepadaku sehingga aku mengira bahwa diriku adalah orang yang paling baik. Aku pun berkata, “Wahai Rasulullah, aku lebih baik ataukah Abu Bakar?” Beliau menjawab, “Abu Bakar.” Aku bertanya lagi, “Wahai Rasulullah, aku lebih baik ataukah Umar?”…..[11]“
Jarir bin Abdullah Al Bajalliy pernah berkata: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menutup dirinya dariku sejak aku masuk Islam, dan tidaklah Beliau melihatku kecuali selalu bersenyum di hadapanku.”[12]
Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah diminta lalu menanggapinya dengan jawaban “Tidak.”[13]
Anas berkata, “Demi Allah, aku telah melayani Beliau selama sembilan tahun. Aku belum pernah melihat Beliau mengatakan terhadap perbuatan yang aku lakukan, “Mengapa kamu melakukan perbuatan ini dan itu?” Atau mengatakan terhadap perbuatan yang tidak aku lakukan, “Mengapa kamu tidak melakukan perbuatan ini dan itu? “[14]
Dalam sebuah riwayat Ahmad disebutkan, “Beliau tidak mengatakan kepadaku kata-kata “ah”.[15]
Dalam riwayat Ahmad lainnya disebutkan, “Demi Allah, Beliau tidak pernah memakiku meskipun sekali dan tidak pernah mengatakan “ah” kepadaku.”[16]
Demikian juga dalam kisah Mu’awiyah bin Hakam, saat ada seorang yang bersin ketika shalat di depannya, ia pun mendo’akan orang tersebut ketika sedang shalat. Mu’awiyah berkata: “Lalu para sahabat memperhatikan diriku, maka aku berkata, “Celaka kalian, mengapa kalian memperhatikan aku?” mereka pun kemudian menepukkan tangannya ke paha. Saat aku melihat mereka bermaksud mendiamkan aku, aku pun diam. Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selesai shalat, Beliau memanggilku. Biarlah bapak dan ibuku menjadi tebusannya. Beliau sama sekali tidak memukulku, membentakku dan memakiku. Aku belum pernah melihat orang yang paling baik pendidikannya sebelum maupun sesudahnya daripada Beliau.”[17]
Pernah suatu ketika orang Arab baduwi kencing di dalam masjid, lalu para sahabat mendatanginya, maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Biarkanlah dia, dan tuangkanlah ke atas kencingnya setimba air atau seember air, karena kalian diutus untuk memudahkan bukan untuk menyusahkan.”[18]
- 3. Tawadhu’
Abu Rifa’ah pernah berkata, “Saya pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di saat Beliau sedang berkhutbah, lalu saya berkata, “Wahai Rasulullah, ada orang asing yang datang untuk bertanya tentang agamanya; ia tidak mengetahui apa agamanya?” maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang menghampiriku dan meninggalkan khutbahnya. Ketika telah sampai di dekatku, disiapkan kursi yang sepertinya kaki-kaki kursi tersebut terbuat dari besi, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di atasnya dan mengajarkan kepadaku ilmu yang diajarkan Allah kepadanya. Setelah itu, Beliau mendatangi khutbahnya dan melanjutkan kembali.”[19]
Dari Anas bin Malik, bahwa ada seorang wanita yang lemah akal berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya ada perlu denganmu”, maka Beliau bersabda, “Wahai Ummu fulan, lihatlah! Jalan mana yang kamu inginkan agar saya dapat memenuhi kebutuhanmu”, maka Beliau berjalan bersamanya di sebagian jalan sampai wanita itu menyelesaikan keperluannya.
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam telah ridha kepada terhadap orang yang lemah, namun kurang ridha jika yang melakukannya orang yang mampu. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada Dhamam bin Tsa’labah ketika ia datang sebagai utusan kaumnya saat Beliau berdakwah kepadanya dan menerangkan beberapa kewajiban dalam Islam. Dhamam berkata, “Demi Allah, saya tidak menambah lagi dan tidak akan mengurangi.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh beruntunglah dia, jika memang benar (seperti itu).”[20]
Akan tetapi, Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak ridha kepada yang lain ketika hanya membatasi dengan kewajiban-kewajiban dalam Islam saja, bahkan Beliau ridha jika mereka mau menambahkan dengan amalan sunah. Ubadah bin Ash Shaamit berkata, “Kami membai’at Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu mendengar dan ta’at, baik ketika semangat maupun ketika tidak senang, dan agar kami tidak mencabut hak yang ada pada seseorang serta menegakkan atau mengatakan yang hak di mana saja kami berada tanpa takut celaan orang.”[21]
- 4. Menambahkan jawaban terhadap pertanyaan dalam hal yang menurutnya para peserta didik tidak mengetahui
Pernah seseorang mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami akan mengarungi lautan, sedangkan kami hanya membawa air sedikit. Jika kami berwudhu’ menggunakan air tersebut, tentu kami akan kehausan. Bolehkah kami berwudhu’ dengan air laut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Air laut suci dan halal bangkainya.”[22]
Sabda Beliau, “dan halal bangkainya” merupakan tambahan pengetahuan yang ditambahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada penanya yang hanya menanyakan tentang berwudhu’ menggunakan air laut. Hal itu, karena jika masalah seperti ini tidak mengerti, apalagi masalah yang lebih jauh lagi.
Pernah seseorang bertanya kepada Beliau tentang apa saja yang boleh dipakai oleh orang yang ihram, maka Beliau bersabda: “Orang yang ihram tidak boleh memakai gamis, sorban, celana, dan baju yang dicelup waras dan za’faran. Jika ia tidak memperoleh dua sandal, maka pakailah dua sepatu dan potong bagian atasnya agar tetap di bawah mata kaki.”[23]
Demikian juga pernah ada seseorang yang bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, “Wahai Rasulullah, beritahukanlah kepada kami tentang Saba’, apa itu? Apakah nama tempat atau nama wanita? Beliau menjawab, “Ia bukanlah nama tempat dan bukan nama wanita. Akan tetapi, ia adalah nama seorang laki-laki yang memiliki anak sepuluh, ia merasa optimis dengan anaknya yang enam orang dan merasa pesimis dengan anaknya yang empat orang.”[24]
Suatu ketika Beliau pernah bersabda kepada para sahabatnya, “Setan akan datang kepada salah seorang di antara kalian, lalu ia akan berkata, “Siapakah yang menciptakan benda ini? Siapakah yang menciptakan benda itu? sampai akhirnya ia mengatakan, “Siapakah yang menciptakan Tuhanmu?” Jika sampai ke arah itu, maka berlindunglah kepada Allah dan hentikanlah.”[25]
- 5. Tidak tergesa-gesa dalam menjawab pertanyaan dan tidak berbicara tanpa ilmu
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabannya.” (Al Israa’: 36)
Jabir bin Abdullah pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, apa sikap yang harus aku lakukan terhadap hartaku? Bagaimana aku harus menyelesaikan masalah hartaku? Beliau tidak menjawab apa-apa sampai turun ayat tentang warisan.[26]
Pernah seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Wahai Rasulullah, negeri manakah yang ada keburukannya?” Beliau menjawab, “Saya tidak tahu, sampai nanti saya akan bertanya kepada Tuhanku. Ketika Jibril ‘alaihis salam datang, Beliau bertanya, “Wahai Jibril, negeri mana yang ada keburukannya?…dst.[27]
- IV. Cara menyikapi orang yang keliru dan orang yang meremehkan
Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memukul sesuatu pun dengan tangannya. Beliau tidak memukul wanita dan pelayan kecuali dalam jihad fii sabilillah.”[28]
Ketika Ka’ab bin Malik tidak ikut berjihad dalam perang Tabuk, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pulang dari perang tersebut, Ka’ab datang. Ka’ab berkata, “Aku pun datang. Saat aku mengucapkan salam kepadanya, maka Beliau bersenyum dengan senyuman orang yang marah.”[29]
Saat Beliau berada dalam masjid, tiba-tiba ada orang Arab baduwi yang masuk dan berdiri sambil buang air kecil di masjid, para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Hentikan, hentikan”, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan kalian hentikan, biarkanlah dia”, merekapun membiarkan sampai orang baduwi itu menyelesaikan kencingnya. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya dan bersabda kepadanya, “Sesungguhnya masjid ini tidak pantas terkena air kencing ini dan kotoran, ia digunakan untuk dzikrullah Azza wa Jalla, shalat dan membaca Al Qur’an.”[30]
Dalam sebuah riwayat Tirmidzi disebutkan, bahwa Beliau bersabda kepada para sahabatnya, “Sesungguhnya kalian diutus untuk memudahkan, bukan untuk menyusahkan.”[31]
Ada kisah seorang pemuda yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta izin berzina, lalu para sahabat melarangnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dekatkanlah ia denganku”, maka ia mendekat kemudian duduk, lalu Beliau bersabda, “Sukakah kamu jika ada yang menzinahi ibumu?” Ia menjawab, “Tidak, demi Allah, biarlah Allah menjadikanku tebusanmu” Beliau bersabda: “Demikian juga orang lain, tidak suka jika ada yang menzinahi ibu mereka.” Beliau bersabda, “Sukakah kamu jika ada yang menzinahi puterimu?”….dst. Ya Allah, ampunilah dosanya, bersihkanlah hatinya dan jagalah farjinya.”[32]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menghajr (tidak berkomunikasi) Ka’ab bin Malik ketika ia tidak ikut dalam perang Tabuk dan memerintahkan para sahabatnya agar tidak berbicara dengannya.[33]
Pernah ada seseorang di dekat Beliau yang masih nampak bekas warna kuning pada dirinya (yang biasanya dipakai wanita-pent), padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya tidak menghadap orang lain dengan sesuatu yang tidak disukainya. Ketika orang itu berdiri, Beliau bersabda kepada yang lain, “Kalau saja kalian mengatakan kepadanya agar ia meninggalkan warna kuning tersebut”.[34]
Demikian juga telah disebutkan sebelumnya hadits tentang sikap Beliau kepada orang yang berbicara ketika shalat dan kisah Anas yang terlambat dalam menunaikan keperluannya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah membenarkan mendidik dengan pukulan sebagaimana dalam kisah Abu Bakar dengan pembantunya, ketika ia menghilangkan untanya, maka Abu Bakar memukulnya, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya tersenyum dan bersabda, “Lihatlah kepada orang yang melarang ini, apa yang dilakukannya?”[35]
- V. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah lebih dulu menggunakan wasilah (sarana) yang sekarang baru didengung-dengungkan oleh para ahli di bidang pendidikan
- Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membuatkan perumpamaan
- Mengajukan pertanyaan
- Menyebutkan sesuatu tiba-tiba atau memberitakan sesuatu tiba-tiba tanpa diawali pengantar dahulu (dengan maksud agar seseorang lebih serius menyimak)
Suatu ketika pernah ada sebuah jenazah yang lewat di hadapan para sahabat, lalu mereka memujinya, maka Nabiyyullah bersabda, “Mesti dan mesti”, lalu ada lagi sebuah jenazah yang lewat, lalau para sahabatnya menyebut buruk terhadapnya, maka Nabiyyullah bersabda, “Mesti dan mesti.” Umar lantas berkata, “Biarlah bapak dan ibuku menjadi tebusanmu, mengapa ketika lewat sebuah jenazah….dst.[43]
Sesekali Beliau pernah bersabda, “Siapkanlah mimbar”, maka kami pun menyiapkan. Ketika Beliau menaiki tangga pertama, Beliau mengucapkan “Amin”, menaiki tangga kedua, Beliau mengucapkan, “Amin” dan ketika menaiki tangga ketiga Beliau mengucapkan “Amin”. Saat Beliau turun, kami berkata, “Wahai Rasulullah, hari ini kami mendengar darimu sesuatu yang sebelumnya kami belum pernah dengar….dst.”[44]
- Sedikit kata-kata dan diadakan pengulangan agar benar-benar menancap di hati pendengar
Anas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Beliau apabila mengucapkan salam, mengucapkannya sebanyak tiga kali dan bila mengucapkan kata-kata, mengulanginya tiga kali.”[46]
Dalam sebuah riwayat Bukhari ada tamabahan, “Sampai dapat dipahami.”[47]
Ditulis oleh:
Dr. Munqidz bin Mahmud As Saqqar
[1] HR. Ibnu Majah no. 229 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, namun dalam sanadnya ada kelemahan.
[2] HR. Muslim no. 2284 dari hadits Jabir.
[3] HR. Muslim no. 537.
[4] HR. Abu Dawud no. 931.
[5] HR. Muslim no. 1826 dari hadits Abu Dzar.
[6] HR. Muslim no. 2284 dari hadits Abu Hurairah, sama seperti itu dalam Shahih Bukhari no. 3427.
[7] HR. Bukhari no. 6927 dari hadits Aisyah.
[8] HR. Muslim no. 2594.
[9] HR. Ahmad dalam Al Musnad no. 12648.
[10] HR. Ahmad dalam Al Musnad no. 1763.
[11] HR. Tirmidzi dalam Asy Syamaa’il no. 295.
[12] HR. Bukhari no. 5739.
[13] HR. Tirmidzi dalam Asy Syamaa’il no. 302.
[14] HR. Muslim no. 2310 dari hadits Anas.
[15] No. 1609.
[16] No. 12622.
[17] HR. Nasa’i no. 1218 dari hadits Mu’awiyah, demikian juga Abu Dawud no. 930.
[18] HR. Bukhari no. 220, sama seperti itu dalam Muslim no. 284 dari riwayat Abu Hurairah.
[19] HR. Muslim no. 876 dari hadits Abu Rifa’ah.
[20] HR. Bukhari no. 46 dari hadits Thalmah bin Abdullah.
[21] HR. Bukhari no. 6774 dari hadits Ubadah bin Ash Shaamit.
[22] HR. Bukhari no. 69 dari hadits Abu Hurairah.
[23] HR. Bukhari no. 134 dari hadits Ibnu Umar, dan Muslim no. 1177.
[24] HR. Abu Dawud no. 3988.
[25] HR. Bukhari no. 3276 dari hadits Abu Hurairah, Muslim no. 134.
[26] HR. Bukhari no. 6723 dari hadits Jabir, demikian juga sama seperti itu dalam Muslim no. 1616.
[27] HR. Ahmad dalam Al Musnad no. 16302 dari hadits Jubair bin Muth’im.
[28] HR. Muslim no. 2328 dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.
[29] HR. Bukhari no. 4156 dari hadits Ka’ab bin Malik.
[30] HR. Muslim no. 285 dari hadits Anas.
[31] HR. Tirmidzi no. 147.
[32] HR. Ahmad no. 21708 dari hadits Abu Umamah.
[33] Disebutkan oleh Bukhari dalam Shahihnya no. 4156 dari hadits Ka’ab bin Malik.
[34] HR. Tirmidzi dalam Asy Syamaa’il no. 297 dari hadits Anas, dalam isnadnya ada orang yang dha’if.
[35] HR. Abu Dawud no. 1818 dari hadits Asma’.